Bab IPENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah
dimulai. Secara historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman
pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan
munculnya gerakan Renaissance. Renaissance berarti kelahiran kembali, yang
mengacu pada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia
(pertengahan abad ke-14). Tujuan utamanya adalah merealisasikan kesempurnaan
pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama
Kristen. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja yang
terpecah-pecah.
Di samping itu, para humanis bermaksud meningkatkan
suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah
manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.
Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang
sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta,
manusia, kehidupan masyarakat dan sejarah.
Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk
member tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih
besar karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala
macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya
perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang
enggan menggunakan akalnya.
Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan akal
akan dapat diharapkan lahir dunia baru yang penghuninya dapat merasa puas atas
dasar kepemimpinan akal yang sehat. Aliran yang menjadi pendahuluan ajaran
filsafat modern ini didasarkan pada suatu kesadaran atas yang individual dan
yang konkret.
Bermula dari William Ockham (1295-1349), yang
mengetengahkan Via Moderna (jalan modern) dan Via Antiqua (jalan kuno).
Akibatnya manusia didewa-dewakan, manusia tidak lagi memusatkan pikirannya
kepada Tuhan dan Surga. Akibatnya, terjadi perkembangan ilmu pengetahuan secara
pesat dan membuahkan sesuatu yang mengagumkan. Di sisi lain, nilai filsafat
merosot karena dianggap ketinggalan zaman. Dalam era filsafat modern, yang
kemudian dilanjutkan dengan era filsafat abad ke-20, muncullah berbagai aliran
pemikiran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Aliran Filsafat Modern
Filsafat
modern (abad 15 – sekarang) berkembang beberapa paham yang menguatkan kedudukan
humanisme sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan. Paham
rasionalisme me-nyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh
dan menguji penge-tahuan. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan menyisihkan
pengetahuan indra. Menurut Rene Descartes (paham rasionalisme dan skeptisme),
pengetahuan yang benar harus berangkat dari kepastian. Untuk memastikan
kebenaran sesuatu, segala sesuatu harus diragukan terlebih dahulu.
Keragu-raguan membuat manusia bertanya/mencari ja-waban untuk memperoleh
kebenaran yang pasti (manusia harus berpikir rasional untuk mencapai kebenaran).
Pada paham empirisme, segala sesuatu yang ada dalam pikiran didahului oleh
pengalaman indrawi. Pengetahuan dikembangkan dari pengalaman indra secara
konkrit dan bukan dari rasio. Menurut John Locke (empirisme dan naturalisme),
pikiran awal-nya kosong. Isi pikiran (ide)
berasal dari pengalaman indrawi (lahiriah dan batiniah) ter-hadap
substansi (benda) di alam. David Hume (skeptisme dan empirisme) mengatakan ide
atau konsep didalam pikiran berasal dari persepsi (kesan terhadap pengalaman
indra-wi) dan gagasan (konsep makna dari kesan) terhadap suatu substansi, bukan
dari substansinya. Sementara menurut Francis Bacon, pengetahuan merupakan kekuatan
untuk menguasai alam. Pengetahuan diperoleh dengan metode induksi melalui
eksperi-men dan observasi terhadap suatu fenomena yang ingin dikaji. Paham
lainnya adalah idealisme yang dianut Barkeley: ada disebabkan oleh adanya
persepsi; dan paham idealisme – kritisisme yang dikembangkan Imanuel Kant.
Menurut Kant, hakikat fisik adalah jiwa (spirit) dan pengetahuan adalah hasil
pemikiran yang dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Paham ini menggabungkan
konsep rasionalisme dengan empiris-me. Paham positive-empiris (Aguste Comte)
menyatakan bahwa realita berjalan sesuai dengan hukum alam sehingga pernyataan
pengetahuan harus bisa diamati, diulang, diu-kur, diuji dan diramalkan.
Sementara paham pragmatisme William James menyatakan kebenaran suatu pernyataan
diukur dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional
(bermanfaat) dalam kehidupan praktis. Pernyataan dianggap benar jika
kon-sekuensi dari pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis bagi manusia.
Filsafat
kuno dan abad pertengahan. Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam mulai
dijawab dengan pendekat-an
rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek
(alam) sehingga kerja logika (akalpikiran) mulai dominan. Sebelum era Socrates,
kaji-an difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik. Menurut Heraklitos
(535-475 SM), realita di alam selalu berubah, tidak ada yang tetap (api sebagai
simbol perubahan di alam) sementara Parmenides (515-440 SM) mengatakan bahwa
realita di alam merupakan satu kesatuan yang tidak bergerak sehingga perubahan
tidak mungkin terjadi.
Pada
era Socrates, kajian filosofis mulai menjurus pada manusia dan mulai ada
pemikiran bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Beberapa filosof populernya
adalah Socrates (479-399 SM), Plato (427-437 SM) dan Aristotles (384-322 SM). Socrates
mendefinisikan, menganalisis dan mensintesa kebenaran objektif yang universal
melalui metode dialog (dialektika). Satu pertanyaan dijawab dengan satu
jawaban. Plato mengembangkan konsep dualisme (adanya bentuk dan persepsi). Ide yang ditangkap oleh pikiran (persepsi) lebih
nyata dari objek material (bentuk) yang dilihat indra. Sifat persepsi tidak
tetap dan bisa berubah, sementara bentuk adalah sesuatu yang tetap. Aristoteles
menyatakan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Fil-suf
ini juga memperkenalkan silogisme, yaitu penggunaan logika berdasarkan analisis
bahasa guna menarik kesimpulan. Silogisme memiliki dua premis mayor dan satu
ke-simpulan sehingga, suatu pernyataan benar harus sesuai dengan minimal dua
pernyataan pendukung. Logika ini disebut juga dengan logika deduktif yang
mengukur valid tidak-nya sebuah pemikiran.
Pada
abad pertengahan (abad 12–13 SM) mulai dilakukan analisis rasional terha-dap
sifat-sifat alam dan Allah, analisis suatu kejadian/materi, bentuk,
ketidaknampakan, logika dan bahasa. Salah satu filsufnya adalah Thomas Aquinas
(1225-1274).Di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa
(kira-kira selama 5 abad) belum memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi
setelah abad ke-6 Masehi, barulah muncul para ahli pikir yang mengadakan
penyelidikan filsafat. Jadi, filsafat Eropa yang mengawali kelahiran filsafat
barat abad pertengahan.
Filsafat Barat Abad Pertengahan (476 – 1492) juga dapat dikatakan sebagai “abad
gelap”. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah: Cara
berfilsafatnya dipimpin oleh gereja
Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus dan
lain-lain.
Masa
abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa
Skolastik. Masa Skolastik terbagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan
Skolastik Akhir.
A.
Masa Patristik
1. Gambaran Umum Patristik berasal dari kata Patres (bentuk jamak dari Pater)
yang berarti bapak-bapak. Yang dimaksudkan adalah para pujangga gereja dan
tokoh-tokoh gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual
kekristenan. Mereka fokus pada pengembangan teologi tetapi tidak lepas dari
wilayah kefilsafatan.
2. Tokoh-tokoh terpenting Bapak Gereja terpenting pada masa itu antara lain
Tertullianus (160-222), Justinus, Clemens dari Alexandria (150-251), Origenes
(185-254), Gregorius dari Nazianza (330-390), Basilus Agung (330-379),
Gregorius dari Nyssa (335-394), Dionysius Areopagita, Johanes Damascenus,
Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus (354-430).
Tertullianus, Justinus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes adalah
pemikir-pemikir pada masa awal patristik. Gregorius dari Nazianza, Basilus
Agung, Gregorius dari Nyssa, Dionysius Areopagita,dan Johanes Damascenus adalah
tokoh-tokoh pada masa patristik Yunani. Sedangkan Ambrosius, Hyeronimus, dan
Agustinus adalah pemikir-pemikir yang menandai masa keemasan patristic Latin.
Masa keemasan patristik Yunani didorong oleh Edik Milan yang dikeluarkan Kaisar
Constatinus Agung tahin 313 yang menjamin kebebasan beragama bagi umat Kristen.
Agustinus adalah seorang pujangga gereja dan filsuf besar. Setelah melewati
kehidupan masa muda yang hedonistis, Agustinus kemudian memeluk agama Kristen
dan menciptakan sebuah tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar pada
abad pertengahan. Karyanya yang terpenting adalah Confessiones (pengakuan-pengakuan)
dan De Civitate Dei (tentang kota Allah).
Agustinus menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran).
Menurut Agustinus skeptisisme itu sebetulnya merupakan bukti bahwa ada
kebenaran. Orang ragu-ragu itu sebenarnya bukti bahwa dia tidak ragu-ragu
tehadap satu hal yaitu bahwa ia ragu-ragu. Orang yang ragu-ragu itu sebetulnya
berpikir, dan siapa yang harus berpikir harus ada. Aku ragu-ragu maka aku
berpikir, aku berpikir maka aku berada. Menurut Agustinus, Allah menciptakan dunia
ex nihilo (konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinos). Artinya,
dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan. Jadi,
berbeda dengan konsep yang diajarkan Plato bahwa me on merupakan dasar atau
materi segala sesuatu. Filsafat patristik mengalami kemunduran sejak abad V
hingga abad VIII. Di barat dan timur tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir baru
dengan corak pemikiran yang berbeda dengan masa patristik.
B.
Masa Skolastik ( skolastik barat )
Istilah
Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti
sekolah. Jadi, skolastik berati aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, sebagai berikut :
a. Filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.
b. Filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional.
c. Suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat.
d. Filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.
Dalam perkembangannya, periode skolastik Kristen terbagi menjadi tiga masa.
Yaitu, Skolastik Awal (abad 9 – 12 M), Skolastik Keemasan (abad 13–14 M), dan
Skolastik Akhir (abad 14–15 M).
Setiap masa memiliki cirinya masing-masing. Skolastik awal ditandai dengan
kebangkitan pemikiran dari kungkungan gerejawan yang telah membatasi filsafat.
Atau, setidaknya mengarahkan filsafat agar sesuai dengan doktrin-doktrin agama.
Walaupun filsafat belum sepenuhnya lepas dari pemikiran teologi kristiani. Masa
skolastik keemasan, kajian pemikiran Aristoteles jadi ciri utama. Seiring
dengan menjamurnya kajian pemikiran para filosof klasik (Yunani) di dunia
Islam, filosof di Eropa juga ikut terpengaruh. Mereka turut serta memperdalam
filsafat dan ilmu pengetahuan. Tampak dari semakin banyaknya universitas
pendidikan ilmu pengetahuan yang dibuka.
Tokoh-tokoh
terpenting pada masa skolastik adalah Boethius (480-524), Johanes Scotus
Eurigena (810-877), Anselmus dari Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus
(1079-1142), Albertus Agung (1205-1280), Thomas Aquinos (1225-1274), Johanes
Duns Scotus (1226-1308), Guliemus dari Ockham (1285-1349), dan Nicholaus
Cusanus (1401-1464).
Johanes Scotus Eurigena mengajar di sekolah istana yang didirikan oleh Karel
Agung. Anselmus adalah seorang uskup yang terkenal dengan semboyan Credo Ut Intelligam
(saya percaya agar saya mengerti). Artinya, dengan percaya orang akan
mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang Allah.
Thomas
Aquinos dijuluki pangeran masa skolastik. Ia adalah seorang biarawan ordo
dominikan, mengajar di Paris, Jerman, dan Italia. Thomas Aquinos berpendapat
bahwa filsafat harus mengabdi teologi, waktu itu dikenal ungkapan Philosophia
Est Ancilla Theologiae.
Manusia dapat mengenal Allah dengan menggunakan rasio. Tetapi, pengenalan itu
hanya melalui ciptaan-ciptaan. Thomas membuktikan adanya Allah melalui
rangkaian argumentasi yang dikenal dengan Quinqae Viae (Lima Jalan) yaitu: Gejala
adanya perubahan atau gerakü
Gejala sebab dan akibatü Gejala kontingensiüAdanya hierarki kesempurnaanü Finalitas duniaü
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa merupakan forma dan tubuh merupakan
materinya. Keduannya tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu substansi.
Pada skolastik akhir, terjadi stagnansi pemikiran filsafat. Menurunnya minat
berfilsafat dan nyaris tidak ada pemikiran original yang terlahir. Sebagian
besar pemikiran filsafat pada masa ini hanya mengikuti pemikiran-pemikiran para
filosof sebelumnya.
Keadaan
ini akhirnya menjadi salah satu sebab dimulainya pemikiran filsafat pada fase
berikutnya, yaitu filsafat modern. Ditandai dengan munculnya renaissance
sekitar abad XV dan XVI M. Yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik
Yunani-Romawi secara paripurna.
Pengaruh Filsafat Abad Pertengahan terhadap Pemikiran Islam
Latar
belakang dimulainya filsafat abad pertengahan adalah sikap ekstrem para pemuka
agama Nasrani di dunia Barat (Eropa) pada 476-1492 M. Pada masa ini, para
pemuka agama Nasrani (pihak gereja) membatasi aktivitas berpikir para filosof.
Berdalih keimanan, segala potensi akal yang bertentangan dengan keyakinan para
gerejawan, dibabat habis. Para filosof dianggap murtad, dihukum berat
(dikucilkan) hingga hukuman mati.
Akibatnya,
ilmu pengetahuan terhambat dan nyaris tidak berkembang. Semuanya diatur oleh
doktrin-doktrin gereja yang berdasarkan keyakinan buta (fanatik). Sehingga,
filsafat abad pertengahan disebut juga dengan nama abad kegelapan. Masa saat
peradaban manusia dikungkung oleh banyak ketidaktahuan.
Namun,
fakta sejarah ini tidak berlaku di dunia Islam (Timur Tengah). Islam mulai
disiarkan oleh Nabi Muhammad SAW ( lahir pada 20 April tahun 571 M ) sekitar
tahun 612 di Mekkah. Setelah ia mendapatkan wahyu ketika ia berusia 40 tahun (
611 M ). Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari
lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622.
Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia.
Sampai tahun 750, wilayah Islam telah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Afrika
Utara, Irak, Suriah, Persia, Mesir, Sisilia, Spanyol, Asia Kecil, Rusia,
Afganistan, dan daerah-daerah di Asia Tengah. Pada masa ini yang memerintah
ialah Bani Umayyah dengan ibu kota Damaskus. Islam dipercaya tiba di Indonesia
langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad
ke-7 M.
Berpusat
di Bagdad, peradaban manusia tumbuh subur seiring dengan perkembangan filsafat
yang pesat. Di sini, filsafat tidak dianggap sebagai ancaman. Bahkan, filsafat
jadi sumbu utama maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan (science) dan
teknologi. Bermitra harmonis dengan nilai-nilai agama.
Bagdad
sebagai pusat peradaban Islam, dikenal sebagai negeri 1.001 malam karena
tingginya perababan yang dimiliki. Bagdad pun dikenal memiliki perpustakaan
terbesar di dunia pada saat itu. Lebih dari satu juta buku tersimpan.
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada
sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama,
meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani
terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran
Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih
'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti
bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih
memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita
ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada
finalnya.
Skolastik
Islam ( Skolastik Timur ) Ciri utama dari skolastik Islam adalah dikajinya kembali
pemikiran para filosof klasik, seperti Socrates, Plato, dan terutama
Aristoteles. Telaah-telaah pemikiran mereka, kemudian dikembangkan dan
disesuaikan untuk menjawab tantangan pada masa itu.
Para
ahli fikir skolastik Islam di antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ar-Razi, Ibnu
Sina, Al-Gazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Di tangan para
filosof skolastik Islam ini, sumbangan pemikiran dari para filosof sebelumnya
(filosof klasik), dapat dipahami dan dikaji lebih mendalam.
Termasuk
jadi bahan utama perkembangan filsafat di Eropa, yaitu berkontribusi dalam
periode skolastik Kristen. Dan, memberikan spirit kebebasan berpikir para
filosof.
Diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M. Abad
ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari
utara. Pemikiran filsafat praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak
hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada
perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada
awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti
terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada
mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal
pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
1. Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M) Meminjam konsep-konsep pemikiran
Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber
pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat,
martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat
manusia mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib.
Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan
diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan
antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Mashab Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al
Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang
tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an
dengan kacamata rasionalis.
2. Mashab falsafah pertama (830 - 1037 M) Berhaluan neoplatonis dan
aristoteles. Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat
hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf"
("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi
(865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli
masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio
realis inter essentiam et existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa
akal adalah pendamping iman. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi
bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh
sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-mata". Ibn
Sina (Avicenna) berusaha menggabungkan filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme.
Dia menganut ajaran manansi plotinos, dan mengatakan Allah menyelenggarakan
dunia secara tidak langsung melalui intelek aktif yang berasl dari intelek
pertama.
3. Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari Berpusat di Bagdad, dan
bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan
bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para
tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali
(1065-1111 M). Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa
peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda
penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat
dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan
al-Khaliq. Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa
ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan
kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak
sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah
menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani.
Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia
hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia
bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat
jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya". Dalam "Al-Tahafut
al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20
dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu.
Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu
melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia.
Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal
tiada tempat dalam agama.
4. Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal
sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu
Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan
dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd
("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda
Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini. Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak
haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang
filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani
sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan
Tuhan kepada abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN
YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah. Ibnu Rushd dikenal oleh 3 kelompok
karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya
filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari
ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut
al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu
secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita
menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai
nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara
langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith),
seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa
nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu
Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana. Karya
apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup
filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam
teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat
al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan
oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini. Bila studi
hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan
memalsukan agama. Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam
pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya
mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya". Tetapi
naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris,
dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang
Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena
itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor
perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh
oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu
diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah
sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung
henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.
Pengaruh Filsafat
Abad Pertengahan terhadap Filsafat Modern.
Pada abad
pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan
untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran
tidak dilarang, tetapiharus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan
XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi.
Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa
agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya
perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun
sosial. Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia
berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini
bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala
sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu,
sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa
Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth),
yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene
Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor
aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri
dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya “cogito ergo sum”
(saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam
perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan
pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat
kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan
rasio manusia dapat memperoleh kebenaran. Kemudian muncul aliran Empirisme,
dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).
Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari
pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga
menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna. Di
tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan
baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman.
Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan
sekitar abad XVIII M.
Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas
dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the
age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah
supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya
filsafat dan sains. Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada
yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya,
agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama
berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama
yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berjuang
melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme
yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya
retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin
keakraban dengan alam.
Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan
Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan
manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam
kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman
(aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia
memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari
gangguan skeptisisme.
Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu
seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut
(absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik
sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama.
Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya
mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris
berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran
Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan
Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik
dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang
paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan
sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan
was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga
menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.
Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun
oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan
bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu
teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan
manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan
tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena
kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini
terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja
kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran
ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat
materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa
kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang
merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan
harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan
antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang
menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895)
membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl
Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang
transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi
kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib. Periode filsafat modern di
Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan
dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern
merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.
2.2
Pokok Ajaran Filsafat Modern
Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Asal filsafat ada tiga, yakni
keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Sesungguhnya pemikiran
filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan filsafat terdiri dari
berbagai zaman yang merupakan usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan
klasik (Yunani – Romawi). Pada zaman modern ini manusia dianggap sebagai titik
focus dari kenyataan.
2.2.1
Rasionalisme
Rene Descartes yang
mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Dengan akal dapat
diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu
pasti.
Latar belakang munculnya
rasionalisme adalah keiginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran
tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu
menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.
Descartes menginginkan
cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak pemikiran yang pasti
yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito
ergo sum (saya ragu-ragu berarti saya berpikir, dan oleh karena itu saya ada).
Jelasnya, bertolak dari keragua untuk mendapat kepastian.
2.2.2
Empirisme
Karena adanya kemajuan
ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat
mulai merosot. Hal ini terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi
kehidupan . pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan.
Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar hanya
diperoleh lewat indera, dan inderalah satu-satunya sumber pengetahuan.
Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme. Empirisme berasal dari kata
empeira yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Jadi empirisme merupakan
pandangan atau sikap yang menekankan pada peranan pengalaman dalam mencari
pengetahuan.
2.2.3
Kritisme
Filsafat kritisme
disebut juga filsafat zaman pencerahan (Aufklarung),
muncul abad ke-18 dimana lahirnya filsafat kritisme ini dilatarbelakangi
pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme.
Dan seorang ahli pikir
dari Jerman mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan sebuah analisa. Akhirnya
ia mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan
sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi
adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus
mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri).
2.2.4
Idealisme
Peristiwa di dunia ini
hanya dapat dimengerti apabila suatu syarat dipenuhi, yaitu jika
peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis mengandung
penjelasan-penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang
menimbulkan gerak lain. Artinya geraka yang menimbulkan tesis, kemudian
menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan), kemudian muncul sintesis yang
merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan antithesis dan seterusnya.
Inilah yang disebut dengan dialektika. Proses dialektika inilah yang
menjelaskan segala peristiwa.
2.2.5
Positivisme
Filsafat positivisme
lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui
adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud
positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman objektif. Jadi setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta
tersebut diatur agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
2.2.6
Materialisme
Filsafat materialisme
berpandangan bahwa hakikat materialisme adalah materi, bukan rohani, spiritual
atau supernatural. Pandangan materialisme banyak persamaannya dengan
naturalisme. Bahkan ada filsuf yang menyamaka keduanya, khususnya yang disebut
dengan naturalisme materialistis. Hal ini didasarkan pada beberapa alas an. Pertama
karena pandangan materialism banyak kaitan dan persamaannya dengan rumpun
ilmu-ilmu alam. Kedua karena sama-sama menentang filsafat moral dan agama.
Tidak ada kejadian yang
tidak dapat diteliti secara alamiah. Apa yang disebut alamiah atau riil pastilah
mempunyai sifat atau wujud material atau fisik, sekalipun mungkin tampaknya
tidak demikian kepada kita. Dengan demikian, sintesis kedua paham ini
beranggapan bahwa apapun yang ada, pada akhirnya dapat dikembalikan kepada
materi.
2.2.7
Pragmatisme
Pragmatisme berasal
dari kata pragma yang artinya tindakan atau perbuatan dimana pragma berasal
dari bahasa Yunani. Maka filsafat pragmatism berarti suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikn dirinya sebagai
yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.
2.2.8
Ekstensialisme
Ekstensialisme berasal
dari kata ekstensi dimana ekstensi ini berasal dari kata eks yang berarti ke
luar dan sistensi atau sisto yang berarti berdiri. Jadi ekstensialisme berarti
berdiri dengan keluar dari diri sendiri yang berarti manusia dalam
keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya
ditentukan oleh akunya.
Ekstensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala berdasar pada
eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
2.2.9
Marxisme
Marxisme adalah aliran
filsafat yang ditunjukan kepada ajaran
Karl Marx. Aliran marxisme lahir dari suatu pertemuan dari tempat-tempat
Karl Marx dalam sejarah ide-ide dan suatu detik sejarah perjuangan kelas-kelas
yaitu kelahiran gerakan tubuh. Ajaran filsafat Karl Marx disebut juga
materialism diakletik dan disebut juga materialism historis.
2.2.10
Antiteisme atau Ateisme
Anti Teisme atau
ateisme merupakan aliran filsafat yang ingin mewujudkan sejarah manusia tanpa
Tuhan. Dalam aliran ini Tuhan dan agama dipandang sebagai formula jahat yang
diterapkan dalam setiap fitnah melawan manusia di dunia. Pokok-pokok
filsafatnya mengenai kehendak manusia, manusia sempurna, dan kritikan terhadap
agama.
2.2.11
Filsafat Hidup
Aliran filsafat ini
lahir akibat dari reaksi dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang menyebabkan industrialisasi semakin pesat. Hal ini mempengaruhi pola pikir
manusia. Peranan akal pikiran hanya digunakan untuk menganalisis sampai
menyusun suatu sintesis baru. Bahkan alam semesta atau manusia dianggap sebagai
mesin yang tersusun dari beberapa komponen dan bekerja sesuai dengan
hukum-hukumnya.
2.3
Para Ahli Pendukung Filsafat Modern
Dengan adanya
aliran-aliran filsafat modern, barang tentu ada pula para ahli yang
melatarbelakangi lahirnya aliran filsafat tersebut. Dan seiring berkembangnya
aliran-aliran filsafat tersebut, bertambah pulalah pendukung teori-teori yang
dikemukakan setiap aliran. Dan beberapa nama yang terkenal dalam lingkup
filsafat modern antara lain Rene Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677),
dan G. Leibniz (1646-1716).
2.3.1
Rasionalisme
·
Rene Descartes (1596-1650)
Beliau disebut-sebut sebagai bapak
filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran.
Beliau adalah pendiri aliran filsafat rasionalisme dengan semboyan yang
terkenal adalah Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)
·
Spinoza (1632-1677)
Filsuf
ini mempunyai nama asli Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama
Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Spinoza ternyata
mengikuti pemikiran Descartes. Tokoh ini juga menjadikan substansi sebagai tema
pokok dalam metafisikanya dan juga mengikuti metode Descartes.
·
Leibniz (1646-1716)
Memiliki nama
lengkap Gottfried Eilhelm von Leibniz, ia adalah seorang filsuf yang berasal
dari Jerman, juga seorang matematikawan,fisikawan, dan sejarawan. Baginya,
pusat metafisika adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep
monade. Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi.
Menurut Leibniz, alam semesta ini adalah prinsip akal yang mencukupi, yang
secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”.
2.3.2
Empirisme
·
Thomas Hobbes (1588-1679)
Beliau seorang ahli pikir Inggris yang
dalam pendidikannya gagal dalam belajar logika Skolastik dan fisika, karena ia
lebih tertarik mengikuti jejak gurunya yang beraliran Aristotelian. Sumbangan
terbesar sebagai seorang ahli pikir adalah suatu system materialistis yang
besar, termasuk juga perikehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang
kenegaraan ia mengemukakan teori Kontrak Sosial.
·
John Locke (1632-1704)
Seorang ahli hukum kelahiran Inggris
yang menyukai filsafat dan teologi, juga mendalami ilmu kedokteran dan
penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh (bagaimana)
manusia dapat memakai kemampuannya.
Beliau terkenal dengan istilah sensation
dan reflection yang digunakan dalam penelitiannya. Beliau beranggapan bahwa
tiap pengetahuan yang diperoleh manusia terdiri dari sensation dan reflection.
2.3.3
Kritisme
·
Immanuel Kant (1724-1804)
Kant adalah penyempurna filsafat zama
pencerahan (Aufklarung). Ia berusaha mendamaikan pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa
Kant membagi filsafat menjadi empat bagian (cabang) yaitu :
-
Metafisika yang
menjawab pertanyaan Apakah yang dapat saya harapkan dari hidup ini?
-
Epistemologi
yang menjawab pertanyaan Apa yang dapat saya ketahui?
-
Antropologi yang
menjawab pertanyaan Apakah yang boleh saya perbuat?
-
Etika yang
menjawab pertanyaan Apakah yang boleh saya perbuat?
2.3.4
Idealisme
·
George Berkeley (1685-1753)
·
J. G Fichte (1762-1814) dan F.W.J Schelling
(1775-1854)
Mereka berpendapat bahwa seluruh
realitas (kebenaran) adalah bersifat subjektif. Pengertian subjek disini tidak
hanya mengacu pada persona tertentu, tetapi yang lebih pokok dan utama adalah
mengacu pada Aku (ego) Absolut atau ditinjau dari sudut agama yang disebut
Tuhan.
Hanya dengan adanya dunia mejadikan Aku
aktif dan mempunyai arti etis. Baik Aku maupun Bukan Aku, tidak merupakan
dualism mutlak, sebab keduanya dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu Aku
Mutlak (Ego Mutlak).
·
Hegel (1770-1831)
Hakikat roh adalah ide yang berpikir.
Dan hakikat ide yang berpikir adalah gerak. Gerak yang terjadi (sebagai tesis)
bukan merupakan gerak yang berjalan lurus, tetapi gerak yang menimbulkan gerak
lain yang berlawanan (anti tesis). Adanya tesis dan anti tesis ini menimbulkan
gerak baru sebagai suatu sintesis.
Susuai dengan dialektika roh, maka
filsafat Hegel disususn menjadi tiga tahap yaitu :
-
Tahap pertama
ketika roh berada dalam dirinya sendiri yang disebut logika.
-
Tahap kedua
ketika roh keluar dari dirinya sendiri, sehingga roh berada dalam keadaan yang
berbeda dengan dirinya sendiri dan disebut filsafat alam.
-
Tahap ketiga
ketika roh kembali pada dirinya sendiri dan disebut filsafat roh.
2.3.5
Positivisme
·
August Comte (1798-1857)
Seorang filsuf kenamaan dari Perancis
yang terkenal sebagai Bapak Sosiologi. Menurut pendapat Beliau perkembangan
pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap, tahap teologis, tahap
metafisis, dan tahap ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap
individu (dalam perkembangan rohani) juga di bidang ilmu pengetahuan.
2.3.6
Materialisme
Tokoh dalam aliran ini adalah Ludwig
Feuerbach (1804-1872). Menurutnya hanya alamlah yang ada. Manusia adalah
alamiah juga.
2.3.7
Pragmatisme
·
William James (1842-1910)
Menurut pandangan Beliau, tiada
kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri,
lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman mengatakan apa yang kita anggap
benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
·
John Dewey (1859 M)
Sebagai penganut filsafat pragmatisme,
John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan dalam
tindakan hidup manusia. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran
metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya.
2.3.8
Ekstensialisme
·
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Pemikirannya bahwa kebenaran itu tidak
berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensi yang
individu, yang konkret. Karena eksistensi manusia penuh dengan dosa, hanya iman
kepada Kristus sajalah yang dapat mengatasi perasaan bersalah karena dosa.
·
Martin Heidegger (1905 M)
Menurutnya, keberadaannya hanya akan
dapat dijawab melalui jalan antologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan
dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode ini disebut dengan
metode fenemologis. Jadi dalam hal ini yang terpenting adalah menemukan arti
kebenaran itu.
·
J.P Sartre (1905-1980)
Eksistensi manusia mendahului esensinya.
Pandangan ini sanga janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya terlebih
dahulu sebelum kebenarannnya. Filsafat ekstensialisme membicarakan cara berada
di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan kata lain filsafat ini
menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya.
2.3.9
Marxisme
Tokoh dalam aliran ini adalah Karl Marx,
ia adalah seorang filsuf yang mencontoh beberapa metode dari Hegel dan
Feuerbach. Dari Hegel ia mengambil metode dialektika dan dari Feuerbach ia
mengambil metode materialism. Marx beranggapan bahwa dalam masyarakat komunis
dengan sendirinya agama akan lenyap, karena agama merupakan ekspresi kepapaan
manusia. Menurutnya, agama adalah candu rakyat.
2.3.10
Antiteisme atau Ateisme
Tokoh filsafat dalam aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1890).
Pokok-pokok filsafatnya diantaranya merupakan dasar dan sumber tingkah laku
manusia.
2.3.11
Filsafat Hidup
·
Henri Bergson (1859-1941)
Pemikirannya alam semesta ini merupakan
suatu organisme yang kreatif, tetapi perkembangannya tidak sesuai dengan
implikasi logis. Hanya beberapa yang berhasil membentuk suatu organisme kreatif
dan mempunyai daya hidup (elan vital). Dengan adanya elan vital tersebut
diharapkan manusia akan mampu melahirkan segala tindakannya.
2.4
Keterkaitan Filsafat Modern dengan Filsafat Dewasa
Ini
Filsafat modern dimulai
pada zaman Descartes dimana ia berkiblat pada paham rasionalisme, hingga
berkembang pada paham-paham dibawahnya.
Sekarang ini terdapat
dua aliran pemikiran filsafat yang mempunyai pengaruh besar, tetapi
aliran-aliran ini belum dapat dikatakan sebagai aliran yang membuat sejarah.
Hal ini terjadi karena aliran-aliran ini masih dianggap baru.
Sesungguhnya filsafat
modern jika dikaitkan dengan filsafat dewasa ini memiliki kedudukan yang sama,
karena pada filsafat dewasa ini, juga terdapat atau terselip ajaran-ajaran dari
aliran filsafat zaman modern. Hanya saja, ajaran-ajaran tersebut mengalami
lebih banyak sintesis, sehingga kuantitas dari aliran filsafat dewasa ini
cenderung lebih sedikit. Namun secara kualitas, lebih banyak memunculkan
analisis-analisis baru yang mendukung ajaran-ajaran aliran filsafat zaman
modern. Dan wajarlah jika filsafat dewasa ini dikatakan sebagai pelengkap atau
bahkan penyempurna dari ajaran filsafat zaman modern.
BAB III
PENUTUP
Filsafat Modern, dimana Istilah modern berasal dari
kata latin “moderna” yang artinya “sekarang”, “baru” atau “saat kini”. Dari
pengertian dasar tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa didalam kehidupan
modern muncul kesadaran waktu akan era yang baru.
Pada zaman modern filsafat dari berbagai aliran
muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna
pemikiran filsafat sufisme Yunani, sedikit pengecualian pada Kant. Paham – paham
yang muncul pada garis besarnya adalah
rasionalisme, idealisme, dan empirisme. Dan paham-paham yang merupakan pecahan
dari aliran itu.
Descartes, Spinoza, Leibniz, Kant, Hegel, August
Comte dan John Dewey adalah beberapa nama dari ahli-ahli yang mempelopori dan
mendukung teori-teori aliran filsafat modern. Selain nama-nama tersebut, masih
banyak ahli yang turut berpartisipasi mendukung teori yang lahir di zaman
filsafat modern.
Filsafat yang lahir di zaman sekarang, sebenarnya
tidak berbeda jauh dari filsafat zaman modern. Karena pada dasarnya, filsafat
yang muncul di masa sekarang merupakan pengembangan dari ajaran filsafat yang
telah ada di zaman filsafat modern, dan kini mengalami sintesis yang menjadikan
jumlahnya menjadi relative lebih sedikit daripada aliran filsafat zaman modern.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 1994. Filsafat Umum. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rineka Cipta.
Poedjawijatna. 1986. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta. Bina Aksara
Rindjin, Ketut. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. Ganeca
Exact Bandung.